NIKAH BEDA AGAMA

I> Pendahuluan

A. Agama Menurut Islam

Agama adalah seperangkat aturan yang jika dikuti akan menjamin keselamatan hidup hamba di dunia dan akhirat. Agama yang benar pada prinsipnya adalah Wadl' Ilahi; aturan yang dibuat oleh Allah. Karena Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah, pemilik dunia dan akhirat maka Allah-lah yang tahu betul hal-hal yang membawa kemaslahatan kehidupan di dunia dan hal-hal yang menyelamatkan hamba di akhirat. Karenanya di antara hikmah diutusnya para nabi adalah menyampaikan wahyu dari Allah yang berisi hal-hal yang menyelamatkan hamba di akhirat.
            Seorang muslim meyakini bahwa satu-satunya agama yang benar adalah Islam dan karenanya ia memilih untuk memeluknya, bukan memeluk agama-agama lain. Satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya agama samawi adalah Islam (Q.S. Al 'Imran : 85, Al 'Imran : 19). Allah mengutus para Nabi dan Rasul seluruhnya untuk membawa Islam dan menyebarkannya dan memerangi, menghapus serta memberantas kekufuran dan syirik. Ketika Rasulullah menjelaskan makna penamaan dirinya sebagai al Mahi , beliau mengatakan :
" وأنا الماحي الذي يمحو الله بي الكفر" (رواه البخاري ومسلم والترمذي وغيرهم)
"Aku adalah al Mahi; yang dengan (mengutus)ku Allah menghapus kekufuran"
Sebagian orang beriman, merekalah orang yang berbahagia. Sebagian lainnya tidak beriman, merekalah orang yang celaka dan akan masuk neraka serta kekal di dalamnya selama-lamanya.
Allah menurunkan agama Islam untuk diikuti. Seandainya manusia bebas untuk berbuat kufur dan syirik, bebas untuk berkeyakinan apapun sesuai apa yang ia kehendaki, Allah tidak akan mengutus para Nabi dan para Rasul dan tidak akan menurunkan kitab-kitab-Nya.
Sedangkan firman Allah:
          ) فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر(   (سورة الكهف: 29)
"Barangsiapa berkehendak maka berimanlah, dan barang siapa berkehendak maka kafirlah". 
Ayat ini maknanya bukan memberi kebebasan untuk memilih antara kufur dan iman (Takhyir), melainkan untuk tujuan ancaman (Tahdid). Karena lanjutan ayat tersebut adalah "Dan Kami menyediakan neraka bagi orang-orang kafir".
Kemudian firman Allah:
          ) لا إكراه في الدين (  (سورة البقرة: 256)
Ayat ini bukan larangan untuk memaksa orang kafir masuk Islam, karena ayat ini menurut suatu penafsiran telah dihapus (Mansukhah) oleh ayat as-Sayf. Ayat as-Sayf (Q.S. at-Taubah: 29) adalah ayat yang berisi perintah untuk memerangi orang-orang kafir. Sementara menurut penafsiran lain, ayat di atas berlaku bagi kafir dzimmi saja.
Bahwa manusia terbagi menjadi dua golongan; orang-orang yang beriman dan orang-orang yang kafir, ini adalah kehendak Allah. Allah berkehendak untuk memenuhi neraka dengan mereka yang kafir, baik dari kalangan Jin maupun manusia (Q.S as-Sajdah: 13). Namun demikian Allah tidak memerintahkan terhadap kekufuran, dan Allah tidak meridlai kekufuran. Karena itu,  dalam agama Allah tidak ada pluralisme agama sebagai suatu ajaran dan ajakan. Juga tidak terdapat apa yang disebut dengan sinkretisme; paham yang menggabungkan "kebenaran" yang ada pada beberapa agama atau semua agama. Orang yang mengatakan ada agama yang benar selain Islam bukanlah orang muslim dan tidak memahami Islam. Firman Allah ta'ala:
) لكم دينكم ولي دين ( (سورة الكافرون: 6)
Maknanya: "Kalian memiliki agama kalian yang batil (maka kalian harus meninggalkannya), dan bagiku  agama yang haqq (yang harus aku pegang dengan teguh)". (Q.S. Al Kafirun: 6)
Bukanlah pembenaran atau pengakuan terhadap keabsahan agama lain, melainkan penegasan bahwa Islam bertentangan dengan syirik dan tidak mungkin digabungkan atau dicampuradukkan antara keduanya dan bahwa  agama yang bathil harus ditinggalkan.
            Sedangkan firman Allah:
) وإنا أو إياكم لعلى هدى أو في ضلال مبين (  (سورة سبأ: 24)
Maknanya: "...Dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik) pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata". (Q.S. Saba': 24)
Tidak berarti meragukan bahwa Islam benar atau tidak, tetapi menyampaikan kemungkinan yang ada; bahwa pasti di antara kita ada yang benar dan ada yang sesat. Orang yang menyembah Allah saja ia berada pada kebenaran, dan orang yang menyembah selain Allah, benda padat atau selainnya adalah jelas orang yang sesat. Bahkan menurut Abu 'Ubaidah Aw (أو) pada ayat ini bermakna Wa (و); dan. Gaya bahasa semacam ini disebut dalam ilmu bahasa dengan al-Laff wa an-Nasyr. Jadi yang dimaksud "Kami berada dalam kebenaran dan kalian dalam kesesatan yang nyata", demikian dijelaskan oleh pakar tafsir Abu Hayyan dalam al Bahr al Muhith.

B. Kekufuran

Konsep Keimanan dalam Islam

            Ketika al Qur'an memerintahkan manusia untuk beriman kepada Allah, al Qur'an sekaligus menjelaskan konsep (cara) beriman kepada Allah tersebut. Konsep inilah yang membedakan cara beriman seorang muslim kepada Allah  dengan klaim orang-orang yang mengaku percaya kepada Allah tetapi sesungguhnya mereka tidak beriman. Karena yang disebut beriman kepada Allah tidak hanya terhenti pada batas mempercayai ada-Nya dan selesai, tetapi harus mempercayai adanya Allah dengan mengikuti konsep (cara) beriman kepada Allah yang telah dijelaskan oleh al Qur'an. Tauhid dan Tanzih adalah dua prinsip terpenting dalam konsep beriman kepada Allah yang diajarkan oleh al Qur'an.
I. Tauhid artinya meyakini bahwa Allah esa, satu-satunya yang berhak disembah, satu-satunya yang menerima ibadah kita. Prinsip ini tertuang dalam kalimat LaaIlaahaillallah; tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah. Ketika seseorang beribadah kepada selain Allah maka ia telah terjatuh pada kubangan syirik dan telah mengabaikan prinsip tauhid ini. Beribadah intinya adalah mempersembahkan puncak ketundukan dan pengagungan kepada Allah. Perbuatan-perbuatan yang memiliki substansi mengagungkan dan mentaati Allah hingga ke puncak pengagungan dan puncak ketundukan, yang melampaui pengangungan dan ketaatan hamba terhadap sesamanya.
II. Tanzih artinya mensucikan Allah dari menyerupai makhluk-Nya. Prinsip Tanzih adalah prinsip keyakinan bahwa Allah ta'ala tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya. Allah ta'ala berfirman:
             ] ليس كمثله شىء [      (سورة الشورى: 11)
Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (Q.S. as-Syura: 11)
Karena prinsip inilah ummat Islam meyakini bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah, tanpa disifati dengan sifat-sifat makhluk-Nya.  Ayat 11 : Surat asy-Syura tersebut adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur'an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. at-Tanzih al Kulli; pensucian yang total dari menyerupai makhluk. Jadi maknanya sangat luas, dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah maha suci dari berupa benda, maha suci dari berada pada satu arah atau banyak arah atau semua arah. Allah maha suci dari berada di atas 'arsy, di bawah 'arsy, sebelah kanan atau sebelah kiri 'arsy. Allah juga maha suci dari sifat-sifat benda seperti bergerak, diam, berubah, berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain dan sifat-sifat benda yang lain.
Al Imam Abu Hanifah berkata:
" أنـى يشبه الخالق مخلوقـه "
 "Mustahil Allah menyerupai makhluk-Nya".

Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (makhluk Allah) terbagi atas dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Benda terbagi menjadi dua macam;
  1. Benda Lathif: sesuatu yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya.
  2. Benda Katsif: sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.
Sedangkan sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta'ala tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan benda Lathif atau benda Katsif. Dan tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman). Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut.

Dua prinsip keimanan ini tauhid dan tanzih adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Jadi percaya kepada adanya Allah baru dikatakan Beriman kepada Allah, jika disertai dengan dua prinsip keyakinan ini. Tanpa disertai dengan dua prinsip ini, kepercayaan terhadap adanya Allah tidak lebih dari kepercayaan semu dan bukan merupakan iman yang sesungguhnya, karena telah menafikan konsep beriman yang telah dijelaskan oleh al Qur'an.


II> Pembahasan


A. Nikah antara Muslim dengan Kafir Musyrik

            Allah ta'ala berfirman:
) ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمن ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم ولا تنكحوا المشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو أعجبكم أولئك يدعون إلى النار والله يدعو إلى الجنة والمغفرة بإذنه ويبين ءاياته للناس لعلهم يتذكرون(  (سورة البقرة: 221)
Maknanya: "Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran". (Q.S. al Baqarah:221)
Berdasarkan ayat ini dan dalil-dalil yang lain, para ulama menyepakati (ijma') keharaman pernikahan antara seorang laki-laki atau perempuan muslim dengan orang-orang kafir musyrik laki-laki maupun perempuan.



B. Nikah antara Lelaki Muslim dengan Perempuan Kafir Ahli Kitab
     
            Allah ta'ala berfirman:
) اليوم أحل لكم الطيبات وطعام الذين أوتوا الكتاب حل لكم وطعامكم حل لهم والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم إذا ءاتيتموهن أجورهن محصنين غير مسافحين ولا متخذي أخدان ومن يكفر بالإيمان فقد حبط عمله وهو في الآخرة من الخاسرين(  (سورة المائدة: 5)
Maknanya: "Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang ahli kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi ". (Q.S. al Ma-idah:5)

Berdasarkan ayat ini dan dalil-dalil yang lain, mayoritas para ulama  berpendapat bolehnya pernikahan antara seorang laki-laki muslim dengan perempuan Ahli Kitab, yahudi dan nasrani saja [5].  Hanya saja menurut Imam Syafi'i Perempuan Ahli Kitab yang dimaksud (yang boleh dinikahi) adalah mereka yang memang memiliki nenek moyang yahudi sebelum diutusnya Nabi Isa dan yang memiliki nenek moyang nasrani sebelum diutusnya Nabi Muhammad. Sebagian ulama melarang lelaki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab karena memang mengharamkannya dan sebagian lagi melarang dalam artian menganjurkan dan menasehatkan (Min Bab an-Nashihah wa at-Taujiih wa al Irsyad) agar tidak melakukan hal itu lebih karena alasan kemaslahatan. Mereka menganggap pernikahan semacam ini sedikit banyak akan membawa bahaya dan yang lebih besar maslahatnya adalah menghindari model pernikahan semacam ini.

            Pernikahan dengan perempuan Ahli Kitab ini dilakukan oleh para sahabat Nabi shallallahu 'alayhi wasallam, di antaranya: Utsman ibn 'Affan menikah dengan Ibnatul Farafishah al Kalabiyyah, seorang nasrani kemudian masuk Islam. Thalhah ibn Ubaidillah menikahi perempuan dari Bani Kulayb nasrani atau yahudi. Hudzaifah ibn al Yaman menikahi seorang perempuan yahudi. (Semua diiriwayatkan oleh al Bayhaqi dengan sanad yang sahih) [6].


C. Nikah antara Perempuan Muslimah dengan Lelaki Kafir Musyrik atau Kafir Ahli Kitab


            Allah ta'ala berfirman:
) ...فإن علمتموهن مؤمنات فلا ترجعوهن إلى الكفار لا هن حل لهم ولا هم يحلون لهن...(  (سورة الممتحنة: 10)
Maknanya: "…Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka benar-benar beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka…". (Q.S. al Mumtahanah :10)

Berdasarkan ayat ini dan dalil-dalil yang lain, para ulama menyepakati (ijma') keharaman pernikahan antara seorang perempuan muslim dengan  laki-laki kafir, baik musyrik maupun Ahli Kitab. Orang yang menghalalkan model pernikahan semacam ini berarti telah mendustakan al Qur'an dan telah keluar dari Islam.
           


____________________________________
[1]. Lihat Mukhtar ash-Shihah, h. 562.
[2]. Syekh Abdul Ghani an-Nabulsi, al Fath ar-Rabbani wa al Faidl ar-Rahmani, h. 190-191, Syekh Abdullah al Harari, ash-Shirath al Mustaqim, h. 30
[3]. Syekh Abdullah al Harari, Sharih al Bayaan, Jilid I, h. 172-189 dan ash-Shirath al Mustaqim, h. 18-21
[4]. Syekh Muhammad Anwar al Kasymiri, Ikfar al Mulhidin, h. 124
[5]. Tidak masuk ke dalamnya perempuan majusi. Karena Majusi disamakan dengan Ahli Kitab dalam hal jizyah saja, sementara dalam hal nikah dan sembelihan tetap diharamkan seperti orang-orang kafir lainnya. Dalam hadits disebutkan:
" سنوا بهم (أي المجوس) سنة أهل الكتاب غير ناكحي نسائهم ولا ءآكلي ذبائحهم" رواه البيهقي في شعب الإيمان
Lihat  Syekh Muhammad al Huut al Beiruti, Mukhtashar al Badr al Munir Fi Takhrij Ahaadits asy-Syarh al Kabiir Li Ibn al Mulaqqin, h. 205 

[6]. Syekh Muhammad al Huut al Beiruti, Mukhtashar al Badr al Munir, h. 205

0 komentar

Posting Komentar

Postingan Populer