Salah seorang pemuka kaum Wahabi, bernama Nasiruddin al-Albani telah membuat kesesatan dan kekacauan dalam hukum agama. Ia mengharamkan mengenakan perhiasan emas yang berbentuk lingkaran-lingkaran [al Muhallaq seperti cincin, gelang, atau kalung emas] bagi kaum perempuan [7]. Bahkan ia bersikap sombong kepada ulama dalam hal ini, dengan berkata: “Mereka laki-laki dan kita laki-laki”, dimana para ulama telah bersepakat (Ijma’) tentang kebolehan hal tersebut. Di samping menyalahi kesepakatan ulama ia juga telah menyalahi hadits Rasulullah.
Al-Hafizh al-Baihaqi dalam Sunan[8]-nya, setelah mengutip hadits-hadits dan kesepakatan kaum muslimin tentang kebolehan memakai perhiasan emas bagi kaum perempuan, beliau berkata dalam bab yang ia namakan “Bab kutipan hadits-hadits yang menunjukan kebolehannya [perhiasan emas] bagi kaum perempuan”. Di antaranya hadits Abi Musa al-Asy’ari, bahwa Rasulullah bersabda:
الحرير والذهب حرام على دكور أمتي حل لإناثهم
(Sutera dan emas diharamkan bagi kaum laki-laki dari umatku, dan halal bagi kaum perempuan mereka).
Al-Baihaqi berkata: “Hadits-hadits yang jelas ini, juga hadits-hadits yang semakna dengan ini, menunjukan tentang kebolehan berhias dengan emas bagi kaum perempuan. Dan dengan ini kami mengambil dalil akan adanya ijma’ ulama tentang kebolehannya, dimana hadits-hadits yang menunjukan keharamannya telah dihapus”. Pernyataan al-Baihaqi ini jelas membatalkan apa yang dinyatakan oleh al-Albani.
Kesepakatan (Ijma’) ulama ini, juga telah dikutip oleh an-Nawawi dalam kitab Majmu’[9]-nya, ia berkata: “Dan dibolehkan bagi kaum perempuan untuk memakai sutera dan berhias dengan perak dan emas dengan ijma’ [ulama], karena adanya hadits-hadits shahih dalam hal itu”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam syarh Shahih al-Bukhari berkata[10]: “Setelah tetapnya ini, maka larangan cincin emas dan larangan memakainya adalah khusus bagi kaum laki-laki, tidak untuk perempuan. Karena telah ada kesepakatan (ijma’) tentang kebolehan tersebut bagi mereka. Aku katakan: Ibnu Abi Syaibah[11] dari hadits ‘Aisyah telah meriwayatkan bahwa [raja] an-Najasyi memberi hadish kepada Rasulullah berupa perhiasan yang diantaranya cincin dari emas. Kemudian Rasulullah memanggil Umamah, puteri dari puterinya (puteri Zaenab), seraya berkata: “Berhiaslah dengannya!”. Hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah ini, juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya[12].
Apa yang menjadi ijma’ ulama di atas juga dikutip oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya, ia berkata[13]: “Mujahid berkata: Dibolehkan bagi kaum perempuan untuk mengenakan emas dan sutera”.
Juga dikutip oleh Abu Bakr al-Jashash al-Hanafi dalam Ahkam al-Qur’an, pada pasal tentang kebolehan memakai emas bagi kaum perempuan. Ia berkata[14]: “Hadits-hadits yang datang dari Rasulullah dan para sahabat tentang kebolehan memakai emas bagi kaum perempuan sangat masyhur. Ayat al-Qur’anpun jelas menunjukan kebolehan hal tersebut. Prihal kebolehan memakai perhiasan emas bagi kaum perempuan ini telah berlangsung dari semenjak masa Rasulullah dan sahabat hingga masa kita sekarang ini tanpa ada seorangpun yang mengingkari. Termasuk dalam hal ini, adanya hadits-hadits ahad yang tidak dapat dibantah menunjukan hal itu”.
Dalam kitab yang sama al-Jashash berkata[15]: 'Abi al-‘Aliyah dan Mujahid berkata: Dibolehkan bagi kaum perempuan perhiasan emas”.
Setelah keterangan jelas ini, maka apa yang difatwakan al-Albani dalam mengharamkan perhiasan emas bagi kaum perempuan adalah fatwa yang tidak memiliki dasar sama sekali. Fatwa ini menyalahi hadits-hadits nabi serta menyalahi ijma’ ulama. Fatwa sesat al-Albani tidak hanya dalam hal ini, dialah juga orang yang mengharamkan wudlu dengan lebih dari satu mud air, dan mengharamkan mandi dengan lebih dari lima mud air. Artinya menurut madzhab al-Albani ini, mereka yang memakai air lebih dari ukuran tersebut dalam wudlu dan mandinya adalah orang-orang berlaku dosa dan orang orang-orang sesat. Apa yang difatwakan al-Albani semacam ini jelas menjadikan agama Allah sebagai suatu kesulitan, padahal Aallah berfirman:
وما جعل عليكم في الدين من حرج (الحج:78)
(Dan tidaklah [Dia Allah] menjadikan bagi kalian dalam agama dari kesulitan).
___________________________________
[7]. Seperti yang ia sebutkan dalam bukunya berjudul “Adab az-Zafaf”.
[8]. As-Sunan al-Kubra (4/142), lihat pula al-Majmu’ karya an-Nawawi (4/442) dan Fath al-Bari (10/317)
[9]. Lihat (4/442)
[10]. Lihat Fath al-Bari (10/317)
[11]. Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5/194)
[12]. Lihat as-Sunan al-Kubra (4/141)
[13]. Lihat Tafsir al-Qurthubi (16/71-72)
[14]. Ahkam al-Qur’an (3/575)
[15]. Lihat Ahkam al-Qur’an (3/575)
0 komentar
Posting Komentar